Di media sosial, sering sekali kami mengunggah video Kaidan, anak kami, yang berusia 2.5 tahun. Di situ bisa terlihat bahwa Kaidan nyaman sekali berinteraksi dua arah dengan bahasa Inggris.
DUILE, KEMINGGRIS BANGET DEH MBAKNYA ANAKNYA DIAJARIN BAHASA INGGRIS PADAHAL MUKANYA AGRARIS (terasiring kali ah agraris).
Bukan.
Sama sekali ga ada faktor gaya-gayaan atau sok kebarat-baratan ketika kami memutuskan untuk mengajarkan multi-bahasa kepada Kaidan. Malah, disini kami dihadapkan pada banyak risiko dan pertentangan. Pertimbangan kami dalam memperkenalkan bahasa Inggris kepada Kaidan, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibunya adalah:
- Coba googling deh untuk satu hal yang sama, satu dengan menggunakan bahasa Indonesia, satu lagi dengan bahasa Inggris. Lihat berapa perbedaannya. Jutaan. Isinya pun terkadang lebih menyeluruh (thorough) jika melakukan pencarian dengan bahasa Inggris. Menurut kami, bahasa ini adalah senjata supaya dia mendapatkan exposure lebih luas terhadap segala jenis ilmu pengetahuan.
- Banyak media pembelajaran yang berkualitas menggunakan bahasa Inggris, walaupun kami saat ini sedang bahagia-bahagianya karena sudah banyak media terbitan lokal dengan kualitas yang tidak kalah bagusnya. Namun, masih harus kami akui, bahwa untuk terbitan asing (import) pilihannya lebih variatif dan mudah didapatkan.
- Sayang sekali jika kami tidak mengoptimalkan 3 tahun pertama ledakan bahasa dia. Kami percaya jika distimulasi dengan baik, 3 tahun pertama (atau 1000 hari pertama di kehidupan dia) itu adalah sebenar-benarnya golden period. Jadi apapun yang kami ajarkan dan tanamkan, dia akan mampu menyerap dengan pesat seperti spons. Oh, jangan khawatir, kami bukan tipe orang tua yang ambisius kok. Walau, sempet menjadi bercandaan saya dulu kalau saya ingin punya anak prodigy supaya bisa diundang ke The Ellen Show (mentok-mentok Dorce Show deh, atau Hitam Putih juga gapapa ama master Dedi. Dedi Dores). Tugas kami adalah memperkenalkan sebanyak mungkin hal-hal yang mungkin menarik minat dia, untuk kemudian kami arahkan. Tidak ada unsur paksaan dalam hal ini.
Kami yakin, dalam mendidik anak, tidak ada benar salah, yang ada adalah penyesuaian terus-menerus antara orang tua dan anak. Apa yang baik untuk satu anak belum tentu bisa diapliasikan ke anak yang lain. Begitupula dengan metode parenting. Kami menyadari betul bahwa banyak psikolog yang tidak menganjurkan pemberian dua bahasa kepada anak di usia dini. Toh ga ada urgensi untuk si anak mengerti bahasa lain selain bahasa ibunya kan? Terus nanti anak bisa mengalami speech delay karena bingung bahasa loh.
Ya. Kami ambil risiko itu.
Dua tahun pertama Kaidan, saya sebagai ibunya cukup sedih melihat anak saya yang kurang “ceriwis” dibanding anak sesusianya. Saya malas mendengar teman-teman saya bercerita anaknya sudah bisa ngomong gini gitu sampai di tahap males playdate sama anak anak lain. Saya minder. Padahal yang sedang berjuang itu Kaidan loh. Kaidan harus struggle karena dia harus mempelajari semuanya dalam 2 bahasa yang berbeda. Sempat terbersit untuk “berhenti” saja dan hanya menggunakan satu bahasa pada dia, tapi suami yang terus-terusan mengingatkan saya bahwa yang kami tuju sekarang adalah “proses”, hasil akan mengikuti ketika kami tekun dalam berproses. Dia selalu mengingatkan bahwa jangan pernah meremehkan kemampuan anak kami, jangan pernah berkecil hati, selama kami on track kemajuan sekecil apapun adalah perkembangan yang patut diapresiasi dan disyukuri.
Kuncinya ternyata adalah konsistensi dan kesabaran. Untuk saat ini, Kaidan sengaja kami masukkan di sekolah yang metode pengajarannya seratus persen menggunakan Bahasa Indonesia, sedangkan di rumah, orang tuanya akan menggunakan Bahasa Inggris dalam dialog sehari-hari. Terkadang dia juga kami ajarkan sedikit-sedikit bahasa Jawa, sebagai bagian dari cara kami memperkenalkan Kaidan pada akarnya, yaitu suku Jawa. Syukurlah kami mendapat dukungan dari dokter anak kami yang tidak melihat ada red flag dalam kemampuan berkomunikasi pada Kaidan. Ini penting loh, ketika sudah ada red flag, maka orang tua harus cepat cepat intervensi supaya tidak berlarut-larut dampaknya. Sekarang dia sudah mulai catch-up dengan perkembangan yang cukup menggembirakan untuk kami. Dia harus belajar kapan menggunakan bahasa A, kapan harus menggunakan bahasa B. Seringnya dia masih mixed-up untuk when and where. It’s okay though, kami masih berjuang bersama-sama untuk ini. It’s a long way to go, but we’re gonna enjoy the ride.
Kaidan might start late, but in the future, he will grab things fast. Beberapa tahun ke depan, kami yakin dia akan banyak menghadapi tantangan sebagai bagian dari Generasi Global. Sudah menjadi tugas kami sebagai orang tuanya untuk menyiapkan dia, melalui hal yang sangat basic, yaitu bahasa. Ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan nasionalisme ataupun melupakan kebudayaan leluhur. Tidak. Kami yakin, communication skill (cakupannya sangat luas ya, tidak hanya profieciency dalam berbahasa saja, tapi kemampuan untuk menyampaikan gagasan dengan attitude yang baik) adalah salah satu basic skill yang harus dimiliki manusia untuk survive. Kepada orang tua lain yang mungkin sedang mengalami hal yang sama dengan kami, semangat ya! Pasti bisa kok, tenang saja. Nikmatilah masa berproses ini, masa dimana kita dan si anak sama sama belajar dalam berkomunikasi. Emang yang dewasa sudah pasti lihai berkomunikasi? Belum cencyuuuh.
Setuju. Aku juga berencana nanti kalo punya anak ingin ngajarin inggris sejak kecil, biar kalo sudah besar bisa makin mateng. Makasih sharingnya kak