Never A Perfect Mother

Oh hai semuaaa, apa kabaar?

Gw dong baru jalan-jalan sama keluarga dan gw happy. Karena apa? Karena gw bawa si Mbak, hahahahaha. Bhay Panadol, gw sudah ga migrain lagi karena si Mbak yang selalu tanggap ngurusuin si toddler yang anteng banget itu (NGGAAAAK).

Hidup tak lengkap jika ke pantai tapi tak makan pasir

Terus, tau nggak, pas di sana, kan kita mampir tuh ke masjid. Nah di tempat wudhu biasanya ada kolam buat bilas kaki ya, anak gw berenang dong di situ. “Swimming, Ibuk”, katanya.  IYAK BENAR, DI KUBANGAN KAKI YANG KEMUNGKINAN BESAR DIA ANGGAP JACUZZI. Apakah Ibuk stres? Oh cencu cidaaak, kan ada si Mbak.

Ini anak siapa mon maap kenapa berkubang dalam kubangan kaki?

Oh iya, pas mau naik pesawat di perjalanan pulang, si toddler nangis kejer gelendotan di kaki ga mau naik pesawat karena masih mau jalan jalan aja ceunah (dikate idup itu piknik doang kali ya ama dia). Kemudian Youtube menjadi juru selamat Ibuk. Kasih Youtube, aman tentram no drama.

Coba, bagaimana, sudah cukup sempurna belum hamba sebagai seorang Ibu?

HAHAHAHAHAHA, NEVER!

I will never be a perfect mother. I have so many flaws, gw bisa nangis, gw bisa mengeluh, gw bisa capek, gw bisa stres, gw bisa depresi, gw bisa sakit. And what that makes me? A mere human being.

Tolong jangan tombak akika, wahai Ibu-Ibu Sempurna di seluruh Indonesia. Apalah hamba ini, kalau ada yang bikin hestek #LifeWithoutNanny, gw pasti muncul dengan hestek #ICantLiveWithoutNanny. YHA! Gw dengan bangga mengakui bahwa si Mbak adalah my main support system (selain uangnya suami). Dengan adanya si Mbak, hidup gw bisa lebih teratur. Gw bisa konsen kerja di kantor karena ada Mbak yang ngurus keperluan si anak dengan baik. Pulang kantor, rumah dalam keadaan bersih, jadi gw bisa main dengan happy sama anak gw dalam keadaan ga pusingin beberes rumah.

Happy bener Buk? Pasti liburan bawa Mbak ya? Ocencusajaaa.

Karena gw sadar betul, gw emang ga bakat jadi Ibu Rumah Tangga. Gw sangat amat salut sama temen-temen gw yang bisa berdedikasi penuh untuk anak dan rumah tangganya, karena gw tau itu berat banget. Dalam keadaan terpaksa, gw bisa ngurus anak dan rumah sendiri, melakukan segala macam kegiatan domestik itu, tapi kalau dalam waktu lama, hamba bisa gilaaaa. Dan anak gw ga berhak dapat Ibu dalam kondisi seperti itu.

Dulu pas lagi kontrol ke RS, gw pernah ketemu sama adeknya Incess Syahrini yang dengan anak kembarnya itu mau vaksin ke RS saja bawa babysitter serombongan kosidahan. Ada yang tugasnya bawa anak, ada yang megangin tas, ada yang bagian dorong stroller, ada yang bagian nyiapin susu (lebey sih ini gw). Oh betapa naifnya gw saat itu (pas itu emang gw belum ada Mbak, datang vaksin cuma berdua sama anak), gw langsung sibuk jadi Ibu-Ibu judgemental yang ngebatin dalam hati “IBU MACAM APA ITU KOK GA MEGANG ANAKNYA SENDIRI MALAH DIPEGANG SUSTER HIH”. Hahahaha. Padahal kalau gw di posisi dia, gw mungkin juga akan berlaku sama.  Because what? Because I can! Toh orang nyinyir ga bakalan ngefek apa-apa ke hidup dia dan anak-anaknya. Dia happy, anaknya happy, para ncus-nya juga happy karena digaji, diajak jalan jalan naik yang kelas Bisnis (trus doski bisa pasang profile picture di fesbuk doski pake caption “Hai Sobat Miskinku”).

Sampai gw ada di suatu kesimpulan, what’s good or bad defined by the society doesn’t directly applied to your motherhood life and your relationship with your kids. Jadi Ibu itu ga ada manualnya. Semua melalui proses pembelajaran. Bikin kesalahan ya wajar banget. Yang ga wajar itu yang ga belajar dari kesalahannya, yang ga open minded, kaku dan susah adaptasi dengan perubahan. Being judgemental is okay. We’re just human after all. Manusiawi banget kok itu. But keep it for yourself. Telen aja sendiri. Terus banyak banyak buka mata biar dapat perspektif lain dalam melihat satu hal. Malu kan kalau kita uda terlanjur nyinyirin satu hal publicly terus kita melakukan hal yang sama di kemudian hari, duh tsay maluuuu. 

Oh, and do not compare too much (this is actually a self reminder as well). Comparison is indeed the root of evil. Apalagi di era sosyel media seperti sekarang ini ye kan, yang kebanyakan orang cuma post yang indah indah saja. Kalau itu bisa menginspirasi lu to be a better mom, good then, go ahead. Tapi kalau cuma bikin hidup lu makin depresi, puasa sosmed deh coba. Biar kita ga kebebani lihat hidup orang lain kok kayaknya mudah dan bahagia, tapi gw kok enggak ya? Jadinya bumerang buat kita sendiri, karena kita jadi sedih, depresi, ga bersyukur sama nikmat kita. Does your kids deserve an unhappy mom? Of course not. Kita yang tau diri kita sendiri, kita yang bisa filter apa yang mau kita lihat dan apa yang mau kita dengar.

Karena jadi ibu itu ga ada menang kalah, ga ada ranking, ga ada juara. Mau lahiran normal, SC, gentle birth, ngasih ASI, ngasih Sufor, pakai jarik, pakai baby carrier, ngajarin Montessori, ibu yang RUM, ibu yang gak RUM RUM amat (itu gw), semua sama sama dilandasi rasa cinta pada si anak dan ingin memberikan yang terbaik buat anak. Nothing will make you less a mother just because you choose one from another. 

Dengan banyaknya ketidaksempurnaan gw sebagai seorang Ibu, gw tetep nomer satu di mata anak gw. Gw tau besarnya rasa sayang gw ke dia dan rasa sayang dia ke gw. That’s it. That will be suffice. Gw ga perlu pengakuan dari masyarakat, simply karena gw ga melahirkan mereka, jadi yastralah ya cyiiin. Yuk mari kita bahagia ❤️

 

Advertisement

3 thoughts on “Never A Perfect Mother

  1. Oh it’s so trueeee madaaame. Kalo bisa punya 3 art.. kulakukan sekarang. Tapi tak isoooooo. Jadi aku bangga #lifewithoutnanny meskipun aku tetap #cantlivewithoutmbak. Bhayyyy

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s