Di kantor saya kebetulan setiap hari Kamis rutin diadakan Persekutuan Doa, ibadah bagi umat Kristiani baik Protestan maupun Katolik. Ibadah ini diadakan tiap jam makan siang sehingga tidak mengganggu jam kerja para karyawan. Hingga pada suatu hari, saat semua teman bersiap-siap untuk mengikuti Persekutuan Doa mereka iseng mengajak saya. Karena sedang tidak ada kegiatan lain dan sudah makan siang, saya berpikir “Kenapa tidak?”.
Bersama mereka, saya masuk ke sebuah ruangan auditorium yang disulap menjadi aula mini dengan mimbar yang terletak di satu sudut ruangan. Masuk ruangan dengan diikuti puluhan pandangan mata yang menatap dengan (saya yakin) banyak tanda tanya membuat saya sedikit kikuk. Oh, maaf jika lupa mengatakan. Saya seorang wanita muslim yang mengenakan jilbab. Sepanjang acara, bisa saya rasakan semua orang di sana menaruh kecurigaan besar dengan adanya kehadiran seorang wanita berjilbab. Mahfum. Jarang sekali ada ibadah sebuah agama tertentu yang dihadiri oleh pemeluk agama lain, bahkan dengan jelas mengenakan atribut keagamaannya. Sama anehnya ketika misalnya ada seorang biksu yang datang ke masjid pada saat solat Jumat. Manusia melakukan generalisasi. Manusia menilai lewat pandangan mereka. Sadar bahwa hal itu sangat manusiawi, pandangan-pandangan tersebut saya balas dengan senyum.
Tidak bermaksud mengganggu kekhidmatan ibadah, saya mencari posisi duduk di pojok belakang. Posisi ini yang paling aman untuk menyaru dan berbaur, juga agar umat yang sedang beribadah pun tidak terbagi perhatiannya.
Khotbah sang pastur berjalan dengan tenang dan saya mendengarkan kata demi kata. Pada saat itu, khotbah berisi mengenai balasan dan imbalan Tuhan. Bahwa segala tindakan manusia, baik buruknya akan dinilai Tuhan dan diberikan balasan atas perbuatannya terebut. Bukan hal yang baru. Konsep yang sama yang pernah saya dengar di pengajian yang pernah saya hadiri, ataupun yang terbaca sekilas di kuil Budha. Ketika tiba saat berdoa pun, saya ikut menundukkan kepala, meresapi kata-kata dan mengaminkan doa yang dirapal Pastur dengan khidmat. Tiap rangkaian kata doa yang dikumandangkan, saya tujukan kepada Tuhan saya. Tuhan tidak dangkal, dia bisa mendengar doa dalam bahasa universal asal ditujukan kepadaNya. Doa adalah salah satu bentuk komunikasi paling pribadi antara manusia terhadap penciptanya, Tuhan tidak berbicara dengan bahasa manusia karena komunikasi dilakukan dengan hati dan pikiran. Hati kita meyakini sedangkan pikiran kita merangkai kalimat pujian dan permintaan.
Pengalaman religius bisa didapatkan dari manapun. Lucu bahwa saya merasa jauh lebih dekat dengan Tuhan saya ketika selesai acara ini. Mungkin lebih dahsyat efeknya ketimbang ibadah rutin yang kita jalankan sebagai bagian dari kewajiban. Apabila ada yang meragukan keimanan saya karena melihat saya mendatangi acara ibadah umat agama lain, jawabannya adalah “Urusan keimanan adalah urusan saya dengan Tuhan, jika dengan mengikuti ibadah agama lain atau bersahabat dengan umat agama lain akan mengaburkan keimanan saya, berarti ada yang salah dengan pondasi iman saya.” Tuhan tidak tanpa maksud menciptakan manusia berbeda-beda. Beruntung sekali mereka yang diberi kemampuan untuk mecintai persamaan dalam perbedaan ini.
Tuhan tidak beragama 🙂
Super sekali renungan mbak Disty ini. Dalam dan penuh makna.
Hae sobat cabutku!
loveee
Thank you Bon 🙂
Kaaaak. Tahun 2008 aku dateng ke Katedral. Ada tugas kuliah lah di sana. Trus berbarengan dengan adzan, bareng pula lonceng greja dan saat itu pengantin jalan menuju mimbar. Aku nangisssss haru. Indah. Indah banget. Trus aku somehow jadi merasa makin religius setelah pulang dr situ. Jadi lebih percaya sama agamaku. Ya, cara Tuhan meningkatkan iman kaumnya ternyata berbeda-bedaaaa :”)